Hampir Setahun Belajar dari Rumah, Bagaimana Kabar Kesehatan Mental Peserta Didik?

Tanggal: 24/02/2021

Jakarta -  Pandemi COVID-19 hampir telah selama satu tahun lamanya. Virus corona yang menjadi pembicaraan menular dengan mudah dan mengubah segala kebiasaan manusia, termasuk belajar tatap muka di sekolah. Di Indonesia sendiri, kebijakan belajar dari rumah dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada Maret 2020. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan. Adapun, pembelajaran dari rumah dilakukan secara daring atau online. Para guru dan peserta didik harus tetap berada di rumah serta melakukan kegiatan belajar mengajar via aplikasi online. Rutinitas untuk tetap di dalam rumah saja tentu membuat perasaan bosan bagi banyak orang. Namun, bagi para peserta didik yang harus menyerap informasi pembelajaran bagaimana? Apakah efektif? Menurut Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga, Rosdiana Setyaningrum pada dasarnya dampak belajar dari rumah pada kesehatan mental peserta didik adalah baik-baik saja. Sebab, proses belajar anak lebih dipengaruhi oleh cara mengajar sang guru. "Jadi sudah dibuat penelitiannya ya, peserta ada 15 ribu orang seluruh Indonesia. Sebetulnya hasil psikologi anak baik-baik saja. Jadi mau belajar online, offline sama saja. Tergantung gurunya, kalau gurunya menyenangkan ya menyenangkan," ungkap dia saat berbincang dengan detikcom, Selasa (16/2/2021).

Rosdiana melanjutkan, walaupun tidak berpengaruh besar terhadap akademik peserta didik, belajar dari rumah justru bisa membuat masalah pada interaksi di rumah. Pasalnya, anak dan orang tua harus menghabiskan waktu selama 24 jam. "Yang berhubungan dengan sekolah nggak masalah. Yang jadi masalah interaksi di rumah, hubungan dengan orang tua kurang akur, itu berdampak. Karena bertemu 24 jam jadi ini yang buat anak remaja berat biasanya tapi nggak ke akademik ya," papar dia. Lantas, bila membandingkan hasil penelitian dari luar negeri, disebutkan para peserta didik merasa stres. Rosdiana menjelaskan hal itu karena bedanya budaya antara di luar negeri dengan Indonesia. "Kalau di sini kan biasanya anak-ana duduk diem guru nerangin. Kalau di luar kan anak-anaknya interaksi atau anak-anaknya sering main di luar, jadi bisa jadi itu yang bikin (hasil penelitian anak di luar negeri) stres dibanding belajarnya," sambung dia. Justru, menurut wanita lulusan Universitas Indonesia jurusan Psikologi ini perasaan stres lebih banyak dialami oleh orang tua dibanding anak-anaknya karena harus melakukan kegiatan ekstra. Bahkan, perasaan tersebut bisa menular. "Kalau pandemi ini orang tua yang stres dan ini nularin ke anaknya. Karena anak-anak sangat bisa beradaptasi pada dasarnya. Orang tua itu kan bukan guru tapi ada kekhawatiran kalau nilai anak kita jelek akhirnya jadi tekanan berat ngomel-ngomel, marah dalam segala hal, akhirnya anka takut belajarnya jadi nggak menyenangkan," kata dia. Untuk itu, Rosdiana menyarankan agar orang tua mampu membuat kegiatan belajar di rumah menyenangkan, misalnya sambil bermain dan berkegiatan di dalam rumah. "Banyak sih cara mengajar yang menyenangkan dan intergarsi kehidupan sehari-hari, misalnya ngajarin angka dan huruf itu bisa sambil dan main, dibuat lebih menyenangkan saja. Karena anak-anak sangat mampu beradaptasi yang penting kita nunjukin ini untuk kebaikan bersama," paparnya. Senada dengan itu, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Informasi dan Komunikasi Politik Juri Ardiantoro mengatakan berdasarkan hasil penelitian Ikatan Psikolog Klinis (IPK), kondisi psikologi peserta didik yang belajar dari rumah lebih baik dibandingkan dengan peserta yang belajar tatap muka dan campuran (tatap muka dan belajar dari rumah). "Kondisi psikologis siswa yang mengikuti belajar dari rumah relatif lebih baik, dibandingkan mereka yang mengikuti pembelajaran secara tatap muka maupun campuran belajar dari rumah dan tatap muka saat COVID-19. Belajar dari rumah juga tidak menimbulkan stres yang lebih tinggi dibandingkan metode pembelajaran lainnya," ungkapnya. Hanya saja, ia juga menyoroti hasil riset sari Save The Children dan UNICEF bahwa banyak pelajar yang mengalami gangguan psikis dan juga tekanan mental selama belajar di dalam rumah.

Hasil penelitian dari Puslitjak Balitbangbuk Kemdikbud juga menunjukkan bahwa sebanyak 64,4% dari total responden 15.840 peserta didik berada di kategori normal selama belajar dari rumah. Artinya, mereka tidak mengalami gangguan psikologis yang dapat menghambat berbagai fungsi dalam kehidupannya.Save The Children (Penelitian Global Dampak COVID-19 pada Anak dan Keluarga) dan UNICEF memberikan data yamg menyatakan bahwa banyak pelajar mengalami gangguan psikis akibat perilaku keluarga seperti kekerasan secara verbal, fisik dan pengabaian. Hasil riset lainnya adalah tekanan akibat banyaknya pekerjaan rumah dan proses pembelajaran yang membosankan, kendala jaringan, gawai dan kendala lainnya," terangnya. Sedangkan, sisanya sebanyak 16,6% responden mengalami psikologis kategori abnormal. Artinya, ada kesulitan psikologis sehingga perlu perhatian lebih lanjut. Hal ini juga meningkat dibanding data riset tahun 2018. Pada tahun 2018 jumlah peserta didik yang menunjukan gangguan psikologis emosional sebesar 9,8% artinya ada peningkatan sebesar 7% saat pandemi COVID-19. Untuk itu, Kemdikbud menyarankan agar para guru memberikan perhatian pada psikologis anak, menyusun program mengenai kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19, dan terakhir mengajak orang tua untuk mendampingi anak-anaknya saat belajar. "(1) Para guru perlu memberi perhatian pada kondisi psikologis anak, bukan hanya sekadar fokus pada capaian akademis terutama untuk mengejar ketuntasan kurikulum, (2) Sekolah perlu menyusun program kegiatan sekolah untuk mempromosikan kesehatan mental dan emosional anak, terutama terkait dengan kondisi pandemi Covid-19 ini, (3) Orang tua perlu didorong untuk mendampingi putra-putrinya pada saat pembelajaran. Data menunjukkan bahwa responden yang tidak mendapatkan pendampingan cenderung mengalami kesulitan psikologis kategori tinggi dan kesejahteraan psikologis rendah," bunyi hasil penelitian tersebut. Sementara itu, diwawancarai terpisah peserta didik bernama Ramziya Naufal Khairullah yang saat ini mengenyam pendidikan di SMP Mutiara 17 Agustus mengaku senang bisa belajar dari rumah. Walaupun begitu, ia juga mengaku bosan karena berada di rumah terus. "Rasanya ada senangnya ada nggaknya. Kalau senang di rumah nggak ke mana-mana jadi bisa maun nggak terlalu fokus belajar. Kalau sedih nggak ketemu teman, bosan juga biasanya kalo bosan ya nonton YouTube," papar dia. Narita juga yang saat ini duduk di bangku kelas 11 SMAN 4 Tangerang Selatan mengaku senang bisa berada belajar dari rumah. Walaupun, rasa bosan tentu saja datang menghampiri. Ia bahkan tak merasa stres berada di rumah. Pasalnya, waktu belajar dari rumah dinilai lebih santai dibanding sebelumnya. "Sukanya karena banyak waktu saja buat istirahat atau rebahan terus juga deadline tugasnya dikasih jauh. Kalau bosennya sih karena nggak ketemu teman jadi ngatasinnya nonton film atau ngerjaim tugas," tutup dia.